Kisah nabi Musa dalam Al-Qur’an mempunyai kesamaan dengan penjelasan  Bibel. Namun ada juga sejumlah perbedaan. Tulisan ini mengkaji terutama  teks Al-Qur’an tentang kisah nabi Musa, Al-Qur’an dan Bibel memberikan  gambaran historis yang sangat berbeda dan menggaris-bawahi perbedaan  besar dalam kredibilitas historis antara Al-Qur’an dan Bibel. Perbedaan  tersebut akan dikontraskan dengan fakta historis yang teruji dan  implikasinya akan diperbincangkan secara mendalam.
1. Satu Fir’aun, bukan dua
Kita melihat Bibel menyatakan bahwa Fir’aun yang memerintah Mesir pada  saat kelahiran nabi Musa, meninggal ketika nabi Musa berada di Midian  (Keluaran 2:23, 4:10) , sekembalinya dari Midian, nabi Musa menghadap  Fir’aun yang berbeda. Sebagaimana telah disimpulkan sebelumnya, dengan  memperbandingkan cerita Bibel terhadap fakta historis, Fir’aun sang  penindas adalah Ramses II (1279SM – 1212 SM) dan karenanya Fir’aun masa  eksodus adalah anaknya Merneptah (1212SM – 1202SM).  Al-Qur’an dengan  sangat jelas menyebutkan hanya ‘satu’ Fir’aun, bukan dua. Fir’aun ini  menindas Bani Israel dan kemudian mengejar mereka saat eksodus dari  Mesir. Semua ayat Al-Qur’an yang relevan secara sangat jelas hanya  merujuk kepada satu Fir’aun. Dalam ayat Al-Qur’an yang menuturkan kisah  nabi Musa tidak ada satupun yang menyebutkan tentang naik tahtanya  Fir’aun baru di Mesir.
Bukti yang pertama terdapat dalam surat al-Qashash [QS 28:2-9]. Ayat  tersebut bercerita tentang kejahatan Fir’aun dan kekejaman yang  dilakukan terhadap Bani Israil sebelum nabi Musa lahir. Selanjutnya  diberikan perincian tentang kelahiran nabi Musa dan izin Fir’aun agar  nabi Musa dibiarkan hidup. Kisah tersebut berlanjut dengan keberangkatan  nabi Musa ke Midian dan kemudian eksodus dan diinformasikan bahwa  kemudian Fir’aun tenggelam. Disamping itu, bagian dialog antara nabi  Musa dengan Fir’aun setelah kembali dari Midian dan Fir’aun yang  disebutkan dalam Al-Qur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa dialah yang  memelihara nabi Musa pada masa kanak-kanak, lihat Asy-Syu’ara [QS  26:18-22].
Indikasi yang lain tentang adanya satu Fir’aun adalah surat Asy-Syu’ara  [QS 26:10-16] dan al-Qashash [QS 28:32-35]. Berbeda dengan Bibel yang  menggambarkan sama sekali tidak ada ketakutan nabi Musa untuk kembali ke  Mesir karena Fir’aun sudah mati (Keluaran 4:19) Al-Qur’an menyatakan  tegas bahwa ketika pertama kali diperintahkan Allah agar pergi ke  Fir’aun, nabi Musa menunjukkan kekhawatirannya tentang misi ini, karena  telah membunuh salah seorang kaum Fir’aun dan sebelumnya telah melarikan  diri beberapa tahun. Jelaslah bahwa Al-Qur’an berbicara tentang satu  Fir’aun yang berkuasa di Mesir sejak kelahiran nabi Musa sampai  tenggelam di laut setelah eksodus Bani Israil.
2. Fir’aun yang lama memerintah
Fakta bahwa Al-Qur’an berbicara tentang satu Fir’aun yang memerintah  Mesir sebelum kelahiran nabi Musa hingga eksodus – jika kita  kombinasikan dengan perincian lain Al-Qur’an tentang kisah nabi Musa –  mendorong suatu kesimpulan yang sangat penting tentang lama kekuasaan  Fir’aun ini, dan juga identitasnya. Mengingat bahwa nabi Musa lahir  ketika Fir’aun sudah berkuasa dan Fir’aun meninggal dalam pengejarannya  terhadap nabi Musa, lama kekuasaan Fir’aun dapat dikalkulasikan dengan  menjumlahkan semua ini : (1) lama kekuasaan Fir’aun sebelum nabi Musa  lahir (2) usia nabi Musa ketika meninggalkan Mesir menuju Midian (3)  lama nabi Musa tinggal di Midian (4) lama nabi Musa tinggal di Mesir  setelah kembali dari Midian. 
Pertama, Al-Qur’an tidan menyatakan pada tahun keberapa kekuasaan  Fir’aun ketika nabi Musa lahir, maka kita hanya bisa membuat perkiraan  minimal lama kekuasaan raja tersebut. Kedua, Kesimpulan berapa lama nabi  Musa tinggal di Mesir sebelum pergi ke Midian dapat ditarik dari surat  al-Qashash [QS 28:14] yang memuat kata ‘lammaa balagha asyuddahu’ yang  diartikan secara harfiah ‘ketika dia mencapai kekuatan penuhnya’.  Variasi ungkapan ini ditemukan dalam 8 ayat Al-Qur’an dan penafsiranpun  beragam. Sebagian mufassir mengartikan ‘sampai masa pubertas’, sedangkan  sebagian lain menyatakan ‘sampai usia yang lebih tua, 60 tahun’.  (Setelah membahas panjang-lebar soal ini dengan mengkaitkan kepada  kedelapan ayat tersebut,  [QS 6:152], [QS 17:34], [QS 4:6] dan [QS  18:82] tentang kematangan usia pada anak yatim, serta ayat lainnya  seperti [QS 22:5], [QS 46:15], juga terkait dengan usia dewasa dari nabi  Yusuf [QS 12:19-24], maka disimpulkan bahwa usia 22 tahun adalah dugaan  yang dapat diandalkan tentang usia nabi Musa ketika pergi ke Midian.
Ketiga, selama di Midian disebutkan secara eksplisit dalam surat  al-Qashash [QS 28:27-29], ayat tersebut menyatakan bahwa nabi Musa  langsung meninggalkan Midian setelah terpenuhi kontrak yang telah  disepakati dengan mertuanya, namun Al-Qur’an tidak menyebutkan pasti  apakah delapan atau sepuluh tahun. Oleh karena itu kita memperkirakan  rentang waktu tersebut. Kalkulasi tersebut membuahkan kesimpulan bahwa  ketika nabi Musa pertama kali diajak bicara oleh Allah dan kembali ke  Mesir, beliau berusia sekitar 28 – 32 tahun. Keempat, lamanya waktu nabi  Musa tinggal di Mesir setelah kembali dari Midian, Al-Qur’an  mengisyaratkan adanya periode yang agak lama. Indikasinya terdapat dalam  surat al-A’raf [QS 7:129] tentang keluhan Bani Israil yang menyatakan  bahwa mereka ditindas setelah nabi Musa menyampaikan risalah dan nabi  Musa menasehati mereka agar bersabar. Indikasi yang lain menyebutkan  soal adanya ‘kekeringan’ yang menunjuk periode beberapa tahun, bahkan  dalam tahun-tahun berurutan seperti dalam surat al-A’raf [QS 7:131].  Karena itu, pemukiman kedua nabi Musa di Mesir diperkirakan berlangsung  selama 8 – 10 tahun.
Berdasarkan analisa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Fir’aun yang  hidup di jaman nabi Musa sekurang-kurangnya telah berkuasa sangat lama,  yaitu sekitar 36-40 tahun, ini merupakan penafsiran yang sangat rendah,  karena belum menghitung berapa tahun Fir’aun tersebut telah memerintah  sampai ketika nabi Musa lahir. Kesimpulan ini memiliki potensi yang  sangat penting dalam mengidentifikasikan Fir’aun ini karena hanya  sedikit Fir’aun yang berkuasa selama itu sepanjang sejarah Mesir. Bahkan  pada paruh kedua milenium kedua SM – yang disepakati semua peneliti  sebagai periode terjadinya eksodus – hanya ada 2 Fir’aun yang memerintah  lebih dari 40 tahun, mereka adalah Tuthmosis III (1504SM – 1450SM) dan  Ramses II (1279SM – 1212SM). Dari kedua Fir’aun tersebut hanyalah Ramses  II yang terlihat sesuai indikasi yang disampaikan Al-Qur’an, karena  Tuthmosis III secara faktual baru memerintah setelah ibu-tirinya  meninggal pada tahun 1483SM sehingga Fir’aun ini mutlak berkuasa hanya  selama 33 tahun dan karenanya bukan Fir’aun yang dibicarakan dalam  Al-Qur’an.
3. Fir’aun ‘pemilik autad’
Al-Qur’an memberikan deskripsi unik lainnya tentang Fir’aun yang  terbukti dapat diberikan kepada Ramses II, dengan menyebutnya sebagai  ‘dzii al-autad’ terdapat dalam surat Shaad [QS 38:10-13] dan surat  al-Fajr [QS 89:6:13]. Para mufassir mempunyai perbedaan pendapat tentang  kata ‘autad’ – jamak dari kata ‘watad’. Sebagian menafsirkan sebagai  ‘kekuasaan dan kekejaman yang luar biasa’ karena Fir’aun adalah seorang  tiran yang kejam, sebagian yang lain menafsirkan sebagai ‘prajurit’  karena dia memiliki tentara yang banyak. Namun pendapat yang lebih  banyak disepakati adalah bahwa sebutan tersebut berarti ‘pasak’ atau  ‘paku’ besar yang dipergunakan Fir’aun untuk menyiksa orang ketika  mereka berpindah kepada agama nabi Musa, seperti yang terdapat dalam  surat Thaaha [QS 20: 70-71], Asy-Syu’ara [QS 26:46-49], dan al-A’raaf  [QS 7:120-124].  Kata ‘autad’ sendiri dalam bahasa Arab mempunyai  beberapa makna seperti ; kekerasan, kekuasaan, tiang dan bangunan yang  aman atau bangunan yang tinggi. Penulis buku ini mengajukan pendapat  yang menarik dengan memperbandingkan kata ‘autad’ yang terkait dengan  gunung-gunung (dalam Al-Qur’an disebut ‘rawaasii’ dan ‘jibaal’ ). Ketika  Al-Qur’an membahas tentang peranan gunung yang menstabilkan bumi,  Al-Qur’an menyebut kata ‘rawaasii’, sedangkan kata ‘autad’ dipergunakan  dalam konteks kata ‘jibaal’. Perbedaan menarik antara penggunaan kedua  kata itu dan perbedaan konteks penggunaan keduanya mengantar penulis  buku ini menyatakan bahwa ‘autad’ bermakna ‘bangunan-bangunan’.
Sebenarnya penafsiran kata ‘autad’ sebagai ‘bangunan-bangunan’ sesuai  dengan konteks ayatnya, yaitu surat al-Fajr [QS 89:6-13] yang  mensejajarkan ‘
Fir’aun pemilik autad dengan kaum Aad yang mempunyai ‘bangunan-bangunan  yangh tinggi’ dan kaum Tsamud yang ‘memotong batu di lembah’ untuk  membangun rumah-rumah mereka.
Pilihan  Al-Qur’an menggambarkan Fir’an sebagai ‘pemilik bangunan’  sangatlah tepat. Hal ini yang membedakan Ramses II dengan Fir’aun yang  lain. Fir’aun ini menjalankan proyek pembangunan lebih banyak ketimbang  Fir’aun yang lain sepanjang sejarah Mesir. Dia membangun patung-patung  dan kuil-kuil besar di seluruh Mesir. “Sebagai pembangun monumen”, tegas  Clayton. “Ramses II paling terkenal diantara seluruh Fir’aun Mesir.  Meskipun Khufu telah menciptakan Piramida raksasa, tangan Ramses II  menjangkau seluruh negeri. Tentang Ramses II ini, Clayton selanjutnya  menyatakan :
“Prestasi pembangunan laksana Hercules. Dia membangun kuil-kuil besar di  Karnak dan Luxor, menyempurnakan kuil-kuil makam ayahnya, Seti, di  Gourna (Thebes) dan juga kuil Abydos, da membangun kuilnya sendiri  didekat Abydos. Di tepi barat Thebes. Dia membangun makam-makam raksasa,  Ramesseum. Prasasti pada galian batu di Gebel el-Silsila mencatat  setidaknya 3.000 pekerja yang dipekerjakan disana untuk memecah batu  yang diperlukan untuk Ramesseum. Kuil-makam penting lainnya berdiri di  Nubia di Beit el-Wali, Gerf Hussein, Wadi es-Sebua, Derr dan bahkan  sampai menjangkau daerah paling selatan. Napata”.  (Clayton, P.A – 1994 –  Chronicle of the Pharaohs: The Reign-By-Reign Record of the Rules and  Dysnaties of Ancient Egypt)
Mengomentari obsesi luar biasa Fir’aun dengan bangunan ini, Kitchen  (dalam buku ‘Pharaoh Triumphant; The Life and Times of Ramesses II King  of Egypt’  ) mengatakan :”dia ingin berkarya tidak hanya pada skala  kebesaran – saksikanlah Ramesseum, Luxor, Abu Simbel dan kemegahan  Pi-Raamses yang sekarang telah lenyap – tetapi juga berbagai bidang  seluas mungkin”. Kitchen menyatakan bahwa :”bisa dipastikan untuk  karyanya yang berupa bangunan untuk dewa-dewa di seluruh Mesir dan  Nubia, Ramses II melampaui tidak hanya Dinasti ke-18, tetapi juga semua  periode dalam sejarah Mesir”. 
Dengan demikian dapat dilihat secara jelas mengapa Al-Qur’an memilih  menyebut Ramses II dengan ‘Fir’aun pemilik autad’.
4. Fir’aun yang dimumikan
Baik Al-Qur’an maupun Bibel menyatakan dengan tegas bahwa Fir’aun  pada  masa nabi Musa tewas tenggelam ketika berupaya mengejar nabi Musa dan  bani Israil (Keluaran 14). Namun Bibel tidak secara eksplisit manyatakan  bahwa jasad Fir’aun tersebut ditemukan orang. Ini terlihat bagaimana  reaksi para sarjana Bibel ketika mumi Merneptah (yang dikalim merupakan  Fir’aun eksodus yang berbeda dengan Fir’aun Ramses II ketika nabi Musa  lahir) tidak ditemukan baik didalam makamnya di Lembah Raja-Raja maupun  ditempat penyimpanan mumi-mumi kerajaan yang ditemukan tahun 1881 di  dekat Deir el-Bahari di Thebes. Mereka mengklaim bahwa Merneptah  pastilah Fir’aun eksodus yang telah tenggelam di laut sehingga jasadnya  tidak ditemukan. Namun klaim ini terpaksa dikoreksi pada tahun 1898  ketika mumi Merneptah ditemukan ditempat penyimpanan mumi kerajaan yang  tersembunyi di makam Amenhotep II di Lembah Raja-Raja bersama 15 mumi  lainnya (Clayton 1994: hal 158). Menarik untuk ditunjukkan bahwa  keyakinan yang didasari pada Bibel bahwa Merneptah adala Fir’aun pada  masa eksodus – dikombinasikan dengan fakta bahwa penyelidikan terhadap  muminya menunjukkan lapisan tebal garam pada kulitnya – dinyatakan  sebagian sarjana Bibel sebagai bukti bahwa dialah Fir’aun masa eksodus  yang lenyap dilaut. Namun sebenarnya, ini adalah akibat dari pembalseman  (Harris dan Weeks : X-raying the Pharaohs).
Al-Qur’an, disisi lain, disamping menekankan dalam sejumlah ayat bahwa  Fir’aun dan para tentaranya tenggelam, menjelaskan bahwa jasad Fir’aun  yang tenggelam itu diselamatkan sebagai tanda bagi manusia, pada surat  Yunus [QS 10:90-92]. Pernyataan Al-Qur’an tersebut sejalan dengan fakata  bahwa jasad Ramses II masih ada dalam bentuk yang telah dimumikan. Mumi  Ramses II ditemukan pada tahun 1881 diantara 40 mumi yang terpelihara  di tempat penyimpanan dekat Deir el -Bahari di Thebes. Buccaile (The  Bible, the Quran and Science: The Holy Scripture Examined in the Light  of Modern Knowledge) menunjukkan dengan tepat, pada saat pewahyuan  Al-Qur’an, keberadaan mumi-mumi ini tidak diketahui sama sekali.
Ada juga hal penting yang harus ditegaskan, bahwa Allah banyak menyebut  dalam Al-Qur’an tentang orang ataupun kaum yang Dia hukum sebagai  pelajaran bagi manusia, hanya dalam kasus Fir’aun inilah Allah  menyatakan bahwa Dia akan menyelamatkan jasad-nya dan menjadikan sebagai  peringatan bagi manusia. Fakta menarik lainnya adalah Allah menyatakan  Dia akan menyelamatkan jasad Fir’aun untuk dijadikan sebagai tanda bagi  mereka yang datang ‘sesudah’ Fir’aun dan Dia tidak membatasi pernyataan  tersebut hanya untuk orang-orang Mesir dan/atau mereka yang hidup pada  masa itu saja. Mumi Ramses II hingga kini masih bisa dilihat orang yang  datang dari mana saja. Sekarang mumi tersebut terpelihara di Museum  Mesir di Kairo. 
Dari buku :
Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Al-Qur’an, Sebuah Penelitian  Islamic Archeology.
Pengarang : Dr. Louay Fatoohi dan Prof. Shetha al-Dargazelli
Sunday, November 7, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)


No comments:
Post a Comment